Rabu, 30 Juli 2008

Peradi versus KAI Gambaran Advokat Kita

pada serius semua!!!!!!!!

(Komisi Pengawas Advokat UnMer)

Advokat muda cewek .....sedang poto bersama seorang artis.....eeye iile.... tp..tepu-tepu...... he...he....!!!!

LAGI MAKAN SIANG.... CALON ADVOKAT JUGA MANUSIA.... JADI JUGA LAPAR.....!






Bpk. Hassanudin Nasution, SH.,.... & Hendro Arie Sandy, SH.
(hehehe... curi kesempatan)

Peradi versus KAI
Gambaran Advokat Kita


BUKAN rahasia umum lagi bahwa keberadaan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi)-karena berbagai alasan-sering digugat anggotanya sendiri. Dan, bukan rahasia umum pula, diberhentikannya Todung Mulya Lubis sebagai advokat secara tetap-dengan alasan terbukti telah melanggar Kode Etik Advokat Indonesia, seperti diputuskan Majelis Kehormatan Peradi Daerah DKI Jakarta, pertengahan Mei lalu-mejadi "pemicu" lahirnya organisasi tandingan Peradi yang diberi nama Kongres Advokat Indonesia (KAI).
Kedua organisasi para pengacara tersebut, Rabu (4/6) sore kemarin sama-sama diterima oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di Kantor Presiden. Pertama Presiden menerima pengurus Peradi di bawah Ketua Umum Otto Hasibuan. Kemudian pada kesempatan berikutnya Presiden SBY menerima pengurus Kongres Advokat Indonesia, yang dipimpin Indra Sahnun Lubis selaku Presiden KAI. Pertemuan yang juga diikuti Todung Mulya Lubis (selaku anggota KAI) itu dimanfaatkan KAI untuk menyampaikan hasil kongres pertama KAI yang berlangsung tanggal 30 Mei 2008, di Balai Sudirman, Jakarta.
Kelahiran KAI merupakan bukti nyata adanya "gejolak" dalam organisasi advokat di negeri ini. Sekaligus merupakan gambaran bagaimana advokat kita tak mampu menyelesaikan persoalan mereka dengan cerdas, tanpa harus membuat organisasi tandingan. Mereka yang mendirikan KAI berdalih, Peradi-organisasi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat--tidak legitimate, karena pembentukannya tidak melalui musyawarah nasional (munas) atau kongres para advokat.
KAI lahir sebagai wujud ketidakpuasan sejumlah advokat atas Peradi. Sayangnya mereka "lupa" bahwa Peradi dibentuk sesuai dengan Undang-Undang Advokat yang diundangkan pada 5 April 2003 merupakan satu-satunya organisasi advokat yang diakui, sebagaimana diamanatkan Pasal 32 ayat 4 UU No 18 Tahun 2003.
Pasal 32 ayat 4 itu menyebutkan, "dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya undang-undang ini, organisasi advokat telah terbentuk". Untuk memenuhi amanat UU Advokat tersebut, delapan pimpinan organisasi advokat (Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKPM, dan ASPI) pada 21 Desember 2004 mendeklarasikan pendirian Peradi.
Harus diakui, kehadiran UU Advokat tidak sepenuhnya mendapat sambutan dari kalangan advokat sendiri. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, UU Advokat paling tidak sudah lima kali diujikan (judicial review) terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keberadaan Peradi juga pernah digugat di Pengadilan Jakarta Pusat. Tapi, patut pula dicatat, hampir semua permohonan tersebut dimentahkan oleh MK. Demikian juga PN Jakarta Pusat tidak menerima gugatan penggugat yang meminta agar Peradi dinyatakan tidak sesuai dengan UU Advokat.
Hasil uji materi MK dalam putusan perkara No 014/PUU-IV/2006 secara tegas menyatakan Peradi adalah satu-satunya wadah profesi advokat. Artinya UU Advokat tidak akan meligitimasi keberadaan badan advokat lainnya, termasuk KAI yang baru saja terbentuk.
Presiden, saat menerima pengurus Peradi, kemarin pun-seperti diungkapkan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng-mengisyaratkan tetap menginginkan advokat dalam satu wadah tunggal, sebagaimana amanat undang-undang. Agar kesatuan tetap terjadi, Presiden juga meminta Peradi membuka kesempatan dan mendengarkan aspirasi dari advokat di luar Peradi.
Isyarat yang dilontarkan SBY sangat jelas bahwa organisai advokat yang diakui negara advokat hanya satu, yakni Peradi. Itu artinya keberadaan KAI hanya dianggap sebagai organisasi masyarakat (ormas) advokat lain, seperti halnya Ikadin dan lainnya.
Bukan hal baru bahwa suatu kepengurusan dalam sebuah organisasi tidak dapat memuaskan semua pihak. Pertikaian pendapat merupakan hal biasa. Untuk menyelesaikannya, seharusnya kinerjalah yang diperbaiki, bukannya setiap ada pertikaian harus diselesaikan dengan membentuk organisasi baru. Bukankah semuanya bisa diselesaikan dengan mengacu pada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD-ART)? Sebagai orang-orang yang mengerti hukum, setiap menghadapi masalah bukankah seharusnya para advokat dapat menyelesaikannya sesuai aturan yang ada?

Tidak ada komentar: