Minggu, 27 Juli 2008

PERADI vs KAI


Foto PKPA III bersama Bpk.Hasanudin Nasution, SH

PERADI - KAI Jangan Cari Legitimasi Politik

Himpunan profesi advokat yang dulu populer disebut pengacara, hampir tak pernah lepas dari perpecahan internal. Demikian pula dengan terbentuknya dan keberadaan PERADI (Persatuan Advokat Indonesia), yang diketuai Dr Otto Hasibuan, SH juga banyak ditentang. Lantas, para advokat senior pun akhir Mei lalu berkumpul membentuk wadah ‘tandingan’ dengan nama KAI (Konggres Advokat Indonesia).

Munculnya dua wadah ini pun, mengundang Presiden SBY angkat bicara menyarankan para advokat menyatu dalam wadah tunggal. Lalu bagaimana persoalan yang mendasari perpecahan itu, berikut wawancara wartawan Malang Post, Jon Suparijono dengan advokat senior di Malang, Wahab Adhinegoro, SH, MH.

Menurut anda, apa yang mendasari perpecahan wadah tunggal advokat itu?
Advokat Indonesia kini memang telah terbelah dua kelompok besar, yakni PERADI (Persatuan Advokat Indonesia) dan KAI (Kongres Advokat Indonesia). Perbedaan paling mendasar dari keduanya, sebenarnya sangatlah simple. Namun karena nafsu ingin berkuasa yang lebih banyak ditonjolkan oleh beberapa gelintir advokat di Jakarta, ditambah lagi dengan komentar-komentar dari pihak eksternal advokat yang sebenarnya sangat tidak memahami dinamika Advokat Indonesia, mengakibatkan persoalan jadi makin kacau seperti sekarang ini.
Jika dicermati secara cerdas, akar permasalahannya sangat sederhana. Yakni berawal dari perdebatan pendapat tentang bagaimana sistem dan mekanisme membentuk wadah tunggal Advokat Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003.
Kelompok yang satu, berpandangan cukup dibentuk oleh para pimpinan puncak dari organisasi advokat yang disebutkan dalam undang-ndang tersebut. Argumentasi ini mengacu pada pasal 32 ayat (3). Advokat, dan berdasarkan azas perwakilan kemudian membenuk PERADI melalui kesepakatan perdata di depan Notaris ditandatangani oleh ketua umum dan sekjen dari masing-masing delapan organisasi advokat, yaitu IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM dan APSI, yang kemudian mengklaim sebagai satu-satunya organisasi wadah tunggal advokat.

Dengan terbentuknya PERADI, apakah eksistensi delapan organisasi advokat itu masih berlaku?

Pertanyaannya, itulah yang semestinya harus dikaji. Memang kenyataanya, jika seandainya benar PERADI menjadi organisasi wadah tunggal Advokat Indonesia, kenapa sampai saat ini delapan organisasi advokat tersebut masih eksis?
Logikanya, jika memang PERADI disepakati sebagai satu-satunya organisasi wadah tunggal advokat Indonesia, seharusnya ke delapan oraganisasi pendiri tersebut, segera melakukan likuidasi. Apakah dengan membubarkan diri, atau melikuidasi dengan bentuk persekutuan perdata biasa. Tapi kenyataanya, delapan organisasi advokat tersebut sampai detik ini pun masih eksis dan aktif.

Apakah persoalan itu yang mendasari banyaknya yang tak mengakui keberadaan PERADI ?

Berdasarkan fakta yang demikian itu, sebagian kelompok advokat memang berpendapat bahwa pembentukan PERADI tidak sesuai atau bertentangan dengan azas demokrasi dan menyalahi ketentuan Undang-undang Advokat itu sendiri. Yakni pasal 28 ayat (2) berbunyi Ketentuan mengenai susunan Organisasi Advokat ditetapkan oleh para advokat, dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
Mengacu pada pasal 28 ayat (2) Undang-undang Advokat tersebut, penafsiran yang lebih mendekati kebenaran, tampaknya adalah argumentasi bahwa organisasi wadah tunggal advokat harus ditetapkan/ditentukan oleh advokat itu sendiri secara perseorangan, dan bukan oleh organisasi advokat incasu delapan organisasi advokat yang disebutkan dalam Undang-undang Advokat. Karena masing-masing individu advokat, mempunyai kemandirian masing-masing yang tidak bisa dikooptasi oleh pihak manapun juga termasuk organisasi.
Terlebih lagi empat organisasi pendiri PERADI itu, telah menyatakan keluar dan mencabut dukungannya kepada PERADI, yaitu IKADIN, IPHI, HAPI dan APSI.

Lalu solusi yang baik menurut anda?

Ya, memang harus dicari jalan yang lebih komprehensip, adil, demokratis dan bermartabat. Masalahnya, karena PERADI sendiri juga mempunyai argumentasi bahwa persoalan wadah tunggal advokat telah selesai dengan terbentuknya PERADI yang didirikan oleh pucuk pimpinan delapan organisasi advokat tersebut sebagaimana disebutkan dalam pasal 32 ayat (3) UU Advokat yang berbunyi:
‘’Untuk sementara tugas dan wewenang organisasi advokat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dijalankan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Assosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Assosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Assosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).’’
Meskipun argumentasi PERADI itu masih harus diperdepatkan lebih dalam dan cerdas, karena didalam pasal 32 ayat (3) itu ternyata tidak ada satu ketentuan pun, yang memberikan mandat atau legitimasi bahwa delapan organisasi a quo diberi wewenang untuk membentuk dan/atau mendirikan wadah tunggal advokat. Kecuali sekadar diberikan wewenang sementara, untuk menjalankan tugas dan wewenang organisasi sebelum organisasi wadah tunggal advokat Indonesia terbentuk. Namun secara impiris PERADI tidak bisa dinafikan begitu saja eksistensinya, karena mempunyai aggota yang sama banyaknya dengan KAI. Jadi pertanyaannya, para advokat ini mau mencari jalan keluar atau mau “perang” …?
Oleh karena itu, perlu dicari jalan yang lebih tepat dan dapat diterima oleh seluruh Advokat Indonesia, dan jalan itu harus dicari dan dipecahkan oleh interen advokat itu sendiri. Karena masalah ini merupakan persoalan interen Advokat Indonesia. Upaya-upaya menarik pihak di luar advokat untuk masuk dan ikut campurtangan dalam persoalan interen advokat - meskipun baru sebatas statemen sekalipun, sama halnya dengan menyerahkan kemandirian dan martabat Advokat Indonesia kepada pihak ketiga, dan tanpa disadari kita telah membukakan pintu pihak luar itu, untuk masuk serta mengkooptasi kemandirian Advokat Indonesia.

Dibalik itu, adakah keinginan kelompok tertentu yang mencari legitimasi politik?

Sekarang ini, quo vadis Advokat Indonesia, tampaknya baik PERADI maupun KAI sudah nervous dan kena sindrom paradigma Orba, berupaya mencari legitimasi politik - mudah-mudahan pandangan saya ini salah. Meski dikemas secara absurd memakai istilah beraudensi dengan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), namun dalam audiensi itu keduanya kentara sekali mencari legitimasi politik.
Beruntung Presiden SBY tetap bijak, tidak memberikan legitimasi apapun baik kepada PERADI maupun KAI, kecuali menyarankan agar keduanya menyelesaikannya secara internal dengan bijak. (Baca: Koran Sindo, edisi Kamis, 5 Juni 2008 halaman 4).
Sayangnya sikap bijak dan kenegarawanan presiden tersebut, di hadapan rekan-rekan pers telah diplintir oleh Juru Bicara Keprisidenan Andi Malarangeng maupun oleh Menkumham, Andi Mattalatta yang secara terang-terangan berpihak kepada PERADI ( Koran Sindo, edisi Jumat 6 Juni 2008).
Sikap bijak berhembus juga dari Mahkamah Konsitusi, Ketua MK Jimly Asshiddiqie menyatakan tidak akan ikut campur tangan dalam persoalan advokat ini. Dia mengharapkan para advokat segera menyelesaikan permasalahan internalnya tersebut. Dia juga memberikan saran agar kedua kubu menyelesaikan persoalan internalnya itu melalui kongres.
‘’Kalau kongresnya pada 2010, maka dipercepat penyelenggaraannya supaya organisasi advokat itu benar-benar kuat dan tepat sebagai tempat berhimpun seluruh advokat,” ujar Jimly (Koran SINDO, 6 Juni 2008).
Menurut ketua MK, sarannya itu untuk menghindari terjadinya dualisme. Ia juga tidak tidak sepakat dengan cara PERADI menyelesaikan masalah seperti memecat atau mencabut kartu advokat. ”Kalau separuh dipecat oleh Peradi, tentu timbul masalah,” ujarnya (Kompas Rabu 4 Juni 200 8)
Suara paling bijak adalah dari Mahkamah Agung. Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial, Harifin A Tumpa mengatakan tidak akan berpihak kepada salah satu kubu organisasi advokat. Untuk keperluan beracara di Pengadilan, Mahkamah Agung berpegang kepada Undang-undang “Undang-undang menyebutkan yang boleh berpraktik di pengadilan adalah advokat. Undang-undang tidak menyebut nama organisasi yang mengeluarkan KTPA,” tegas Harifin (Kompas, 4 Juni 200 8)
Sekarang tergantung dari para pemimpin dua kubu itu, mau berbuat untuk kepentingan advokat di seluruh Indonesia, atau hanya untuk kepentingan kelompok dengan menonjolkan nafsu untuk berkuasa. Caranya terserah, rekonsiliasi atau menyelenggarakan Kongres bersama untuk melahirkan wadah tunggal advokat yang bisa diterima oleh semua pihak.
Kalau di atas tadi saya mengatakan KAI tidak bisa menafikan begitu saja eksistensi PERADI, sebaliknya PERADI juga tidak bisa menafikan begitu saja eksistensi KAI, karena secara empiris KAI secara factual didukung enam ribu orang advokat (berdasarkan daftar kesediaan dan dukungan mengikuti Kongres Advokat Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta, 30 Juni 2008 yang lalu).
Kalau sampai akibat adanya perbedaan pendapat ini, ada yang saling menafikan eksistensinya, apalagi sampai menimbulkan pengikut salah satu kubu tidak bisa beracara di Pengadilan, maka persoalannya tidaklah sederhana. Karena dibalik kehidupan seorang advokat ada anak dan istri, yang membutuhkan makan daripadanya. Siapapun, suku bangsa manapun, jika sampai sumber kehidupannya dimatikan, maka taruhannya cuma ada dua, hidup atau mati.

Pemerintah Hanya Akui Peradi

JAKARTA – Pemerintah hanya mengakui Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sebagai satu-satunya wadah advokat yang sah menurut undang-undang (UU).

Sebaliknya, pemerintah menilai pendirian Kongres Advokat Indonesia (KAI) tidak memiliki dasar hukum yang kuat. “Nggak ada dasar hukumnya, jelas kok,” tegas Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Andi Mattalatta seusai melantik pejabat eselon II di Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) di Jakarta kemarin. Andi berargumen, UU No 18/2003 tentang Advokat telah memberikan mandat kepada delapan organisasi advokat, di antaranya Asosiasi Advokat Indonesia dan Ikatan Advokat Indonesia, untuk membentuk wadah tunggal, yakni Peradi.

“Delapan organisasi advokat itu sudah membentuk Peradi,artinya Peradi sebagai wadah organisasi,” tandasnya. Menurut Andi,dengan hanya mengakui bahwa Peradi satu-satunya wadah tunggal advokat,bukan berarti pemerintah tidak adil dengan memihak salah satunya. Pemerintah hanya melaksanakan UU mengenai advokat.“UU mengatasnamakan satu wadah tunggal dan pasal yang mengamanatkan wadah tunggal sudah dilaksanakan mereka, yaitu dengan membentuk Peradi,”jelasnya.

Lebih lanjut, politikus Partai Golkar ini menyarankan agar perbedaan dan konflik yang terjadi antara Peradi dan KAI diselesaikan melalui mekanisme organisasi, bukan membentuk organisasi baru. Dalam UU Advokat,lanjut Andi, advokat dikategorikan sebagai salah satu elemen penegak hukum.Karena itu,wadahnya juga harus satu.“Seperti jaksa. Masa ada jaksa RI,ada jaksa Republik Makassar,”sindirnya.

Meski pemerintah hanya mengakui Peradi, bukan berarti melarang KAI untuk mendaftarkan organisasinya di Depkumham. Hanya, jika mendaftar, KAI tidak bisa mengatasnamakan sebagai wadah tunggal profesi advokat. MenurutAndi,sikap yang disampaikannya sejalan dengan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Secara organisatoris, dia (Presiden) mengakui Peradi. Tapi dengan mengakui Peradi, masa tidak boleh senyum dengan Indra Sahnun (Presiden KAI),”katanya.

Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan menyatakan akan merangkul kembali advokat yang selama ini berseberangan. Hanya, dia tidak bisa memaksa jika nantinya mereka yang tergabung dalam KAI tetap tidak mau bergabung. “Kita selalu terbuka untuk mereka datang kembali.Tentunya, jika mereka mengakui Peradi satu-satunya wadah advokat yang diamanatkan UU,”ungkapnya.

Sementara itu, Presiden KAI Indra Sahnun Lubis tetap bersikeras bahwa Presiden SBY tidak pernah mengucapkan Peradi sebagai organisasi advokat satu-satunya di Tanah Air.“Presiden tidak mengucapkan Peradi sebagai satu-satunya organisasi advokat Indonesia,”kata Indra seusai menemui Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie.

Dalam masalah ini, kata Indra,Presiden menyerahkan ke advokat untuk menyelesaikannya dengan menunjuk kepada Menkumham Andi Mattalata sebagai koordinator.“ Menkumham tidak boleh berpihak,dan Presiden sendiri tidak berpihak,”katanya. (rahmat sahid)

Tidak ada komentar: